Musywil ke-12 ‘Aisyiyah Sumatera Utara yang diadakan pada bulan Nopember 2015 diikuti dengan diadakannya Musyawarah Daerah di 25 PDA se Sumatera Utara dengan waktu yang berbeda pada periode waktu Januari 2016 sampai dengan Mei 2016.
PDA di Sumatera Utara terletak di 25 Kabupaten/Kota dengan jarak yang bervariasi jauhnya. PDA terdekat ada di kota Medan yang merupakan domisili PWA Sumatera Utara, yang paling jauh adalah PDA Nias yang harus ditempuh dengan pesawat terbang atau kapal menyeberangi Samudra Indonesia/Lautan Hindia. Ada juga PDA yang jaraknya memakan waktu sekitar 10 jam perjalanan darat dengan melintasi pegunungan dan perbukitan yang dikenal dengan Bukit Barisan.
Untuk mendampingi setiap Musyda PDA maka PWA Sumut membentuk 5 Tim yang terdiri dari 2 orang setiap tim dengan komposisi Wakil Ketua PWA didampingi pengurus harian mulai dari Sekretaris dan Bendahara. Adapun Ketua PWA tidak termasuk dalam tim tetapi dapat ikut ke PDA mana saja sesuai dengan kesempatan yang ada.
Berbagai pengalaman menarik dijumpai sewaktu mendampingi Musyda, kebetulan saya mendapat tugas mendampingi Musyda di 5 PDA dengan jarak tempuh yang bervariasi. Yang ingin saya ceritakan disini adalah pengalaman saya bertemu dengan warga ‘Aisyiyah yang bukan termasuk pengurus.
1. Opung Rahima Pane , Sipirok/PDA Tapanuli Selatan
Opung adalah panggilan terhadap seorang nenek, sama dengan eyang, atau embah di daerah lain. Yang menarik dari Opung Rahima Pane ini adalah, dalam usianya yang sudah lebih 80 tahun beliau masih ikut hadir di acara Musyda ‘Aisyiyah Tapanuli Selatan yang digelar di kota diatas awan yaitu Sipirok. Tak sengaja melihat si Opung berada di area Musyda di Mesjid Taqwa Sipirok. Oleh teman setim saya beliau dibimbing untuk ikut naik ke lantai 2 masjid tempat acara dilaksanakan. Disela-sela acara ibu-ibu warga ‘Aisyiyah mengadakan refreshing dengan menyanyikan lagu-lagu ‘Aisyiyah tempoe doeloe dan Opung Rahima Pane dengan semangat ikut bernyanyi. Sayangnya tidak satu pun lagu tersebut yang saya kenal. Jawabnya sewaktu ditanyakan apa alasan hadir di Musyda adalah karena ingin bertemu dengan Amin Rais. Rupanya beliau tidak dapat membedakan antara Amien Rais dengan Dahlan Rais yang membuka Musyda bersama PDM dan PDA Tapanuli Tengah
2. Putri
Putri adalah seorang bayi yang selalu digendong oleh neneknya mengikuti Musyda. Putri yang berusia sekitar 3 bulan pada waktu itu merupakan anak pertama dari orang tuanya, menjadi piatu karena ibunya meninggal dunia hanya beberapa jam setelah dia dilahirkan. Melahirkan di klinik dengan normal kemudian ibunya mengalami sesak nafas dan tubuh melemah. Sempat dilarikan ke rumah sakit namun entah karena tenaga kesehatan kurang sigap dan kurang terlatih, sebelum mendapat pertolongan medis apa pun di Rumah Sakit Sipirok sang Ibu meninggalkan Putri untuk selamanya.
Andai saja cakupan program EMAS mencapai setiap daerah terutama yang jauh dari sarana kesehatan yang terstandarisasi, mungkin Putri masih diasuh ibunya.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…. Semoga kelak Putri menjadi warga Aisyiyah sejati.
3. Nenek Sanidar Pili , Sidikalang/PDA Dairi
Lagi-lagi seorang nenek tua berusia 85 tahun saya jumpai di acara Musyda PDA Dairi yang dilaksanakan di Sidikalang, ibukota Kabupaten Dairi yang terkenal dengan kopinya. Di kota sejuk yang terletak diatas pegunungan Bukit Barisan ini, Nenek Sanidar Pili (Pili adalah singkatan dari Piliang, marga/suku bagi orang Minang) menetap sudah puluhan tahun dan membuka usaha rumah makan yang sepertinya menjadi trade mark orang Minang.
Satu hal yang menyentuh hati saya adalah saat nenek yang jalannya saja sudah bungkuk ini datang ke Musyda, yang ditanyakannya ke pengurus setempat adalah sudah berapa jumlah hutang iurannya ke organisasi karena beliau sudah beberapa kali tidak hadir ke pengajian rutin dan berkeras untuk membayarnya pada waktu itu juga. Masya Allah, nenek tua yang sangat pantas jadi panutan bagi kita semua untuk mematuhi kewajiban sebagai anggota organisasi
Seperti itulah catatan saya yang terselip dari beberapa Musyda yang saya hadiri di Sumatera Utara, semoga kisah ini dapat menjadi pendorong semangat bagi kita yang umurnya belum setua Opung Rohima Pane dan Nenek Sanidar Pili.
Khusus untuk Putri yang piatu kisahnya dapat menjadi bahan pemikiran bagi ‘Aisyiyah untuk melaksanakan program kesehatan untuk mengurangi kematian ibu dan bayi baru lahir. Mungkin daerah-daerah yang sudah pernah menjadi cakupan Program EMAS dapat menjadi mentor bagi PDA yang ada disekitarnya, wallahualam
-Azwinar (PWA Sumatera Utara)